Ternyata Tak Merindu -->

Header Menu

Ternyata Tak Merindu

Bang Ancis
Monday, March 23, 2015

Ternyata Tak Merindu

Keputusan perlu diambil ketika hubungan di antara dua kekasih justru menunjukkan gejala yang memburuk. Ketika punggung tak lagi merindukan dada, ketika tak ingin lagi dipeluk dari belakang, ketika itulah kau bahkan tak lagi nyaman dengan privasi, meski terhadap pasangan. Kehangatan, yang pada mulanya dinikmati, kini justru menyala laksana bara. Api dalam sekam harus dipadamkan. Jangan sampai percikan pada akhirnya menjadi kobaran dan kau terbakar habis oleh pertengkaran.

Ternyata Tak Merindu
Berhenti mencintai tidak berarti harus mulai membenci. Ia yang paling dekat denganmu memang yang paling menyayangi, tapi juga yang paling tega menyakiti, pun sebaliknya. Padahal benci sesungguhnya bukan lawan kata yang tepat untuk cinta. Tidak peduli adalah yang lebih pas. Jika cinta, akan peduli. Jika tak cinta, belum tentu lantas benci kan? Karena itu, tatkala muncul sikap tidak (lagi) peduli dari yang satu kepada yang lain, definisi pasangan harus diterjemahkan ulang.

Obrolan yang tadinya renyah tak lagi enak karena dibumbui omong kosong yang absurd. Kau tak bisa masuk ke tema yang seyogianya dikehendaki oleh dua sejoli. Kepalsuan menjadi kamuflase yang konyol, dan pada ujungnya memuakkan. Menjadi mudah tersinggung oleh lelucon yang dulu selalu sukses mengulik tawa hingga terpingkal. Tak bisa membodoh-bodohkan lagi tingkah kekasihmu sendiri adalah akhir segalanya. Yang tinggal hanya air mata, kernyit dahi, dan marah.

Ucapan “aku mencintaimu” tak berbalas perkataan senada. Kata rindu kehilangan makna. Lebih menyesakkan adalah jika ternyata ia yang kaucintai tak lagi satu rasa. Ia yang kausangka tahu apa yang kaurasa ternyata tak begitu. Kau salah menduga. Ah, betapa menyakitkan jika ia yang ditunggu sepenuh hati ternyata asyik sendiri dan mengabaikan kesetiaanmu. Lebih-lebih jika ia ternyata memiliki rencana yang sengaja menghapus namamu di dalamnya. Kau dibiarkan tidak tahu apa-apa.

Merupakan kemunduran yang luar biasa bagi sebuah hubungan jika salah satu pasangan sudah memutuskan bahwa mereka tak punya masa depan. Kata-kata cinta tak lagi punya makna jika kau bukan siapa-siapa baginya. Adamu tiada. Kau menjadi orang lain baginya. Kau perlu segera mengambil keputusan sebelum kau yang diputuskan. Tak usah bertengkar berkepanjangan. Cinta itu soal hati, dan sangat sedikit—atau bahkan sama sekali tidak—berhubungan dengan akal sehat.

Untuk mengerti, kita butuh hati. Untuk saling mengerti, kita butuh sehati. Kita berbeda arah, karena itulah kita berpisah. Tak perlu saling menyalahkan. Sebab, cinta tak pernah salah, pun rindu tak pernah benar. Pengadilan membuktikan kesalahan, ilmu pengetahuan membuktikan kebenaran, dan cinta meleburkan keduanya.

Jika cinta sudah tiada, tak perlu menghakimi masa lalu dan ia yang (pernah) kaucintai kan? Kenyataannya adalah kau tak lagi bias bersamanya, itu saja. Keadaannya kini berbeda: kalian tak lagi satu jiwa. Kalian tak bisa lagi berpelukan erat hingga seolah satu raga. Jalinan cinta yang telah dipisahkan oleh keputusan yang dewasa janganlah disambung lagi dengan pola kekanak-kanakan. Yang paling sering terjadi adalah menjelek-jelekkan bekas kekasih, menjadikannya olok-olok, padahal itu sederajat dengan membuka aib sendiri. Seburuk apa pun, ia jadi buruk karena tidak dijaga dengan baik oleh pasangannya. Mawas diri memang jadi sulit jika membenci.
Ternyata Tak Merindu

Kita sering hanya menerima kebaikan kekasih, tapi menolak keburukannya. Padahal apalah cinta jika tanpa daya merusak? Apalah rindu jika tanpa kekuatan merawat? Terlalu sering kita mudah menyerah pada hal-hal yang masih bisa diperbaiki. Jika tidak mencintaimu dalam sedih, ia bukan kekasih. Jika mencintaimu hanya dalam gembira, ia bukan cinta. Dan yang menumbangkan cinta sesungguhnya bukan selalu angin dari luar, tapi bisa jadi justru pengharapan yang terlalu tinggi.

Pertengkaran bukan kalimat yang baik untuk menulis kenangan. Tak perlu tanda seru yang bertubi-tubi untuk sebuah memori. Segala yang dimulai dengan kelembutan jangan diakhiri dengan kekerasan. Alangkah lebih baik jika yang kita ingat adalah cerita di kala bahagia. Dan berbicara mengenai keputusan tidak berarti berbicara tentang keputusasaan. Masih ada cara lain untuk tidak khawatir menghadapi takdir. Jika memang tak lagi bisa menjadi pasangan, siapa tahu masih bisa menjadi kawan kan?

Sebodoh-bodoh perbuatan bodoh takkan menghapus jodoh. Yang perlu kita sadari adalah setiap hal tak berdiri sendiri. Selalu ada cerita sebelum berjumpa, selalu ada kisah sebelum berpisah. Dan tak selamanya keputusan yang harus kalian ambil adalah berhenti berhubungan. Siapa tahu, jika dibahas baik-baik dari berbagai sudut, dan tanpa caci-maki serta teriakan, ya, siapa tahu, kalian mengambil keputusan yang lebih baik: start it all over again. Dari awal memulai lagi percintaan.

Esay Oleh Candra Malik
Male No. 097, 5 - 11 September 2014