"...Aku pernah ingin mendirikan bagimu sebuah rumah di bukit itu..."
Bukit yang paling sering menyembunyikan anak-anak muda dari ketahuan orang tua. Sebab di setiap lereng terdapat taman indah yang menjulurkan lengannya dan sesekali menghangatkan kepala mereka yang berteduh. Sehingga untuk itulah menyembunyikan sesuatu selalu serupa melarikan diri kepada kekosongan yang mengasyikan. Dan sepasang anak muda yang itu hampir selalu kujumpai setiap kali aku pergi mencari tempat mana yang pantas untuk menumpuk bahan-bahan bangunan. Di tempat yang sama mereka selalu lebih dahulu menumpuk kenangan, airmata dan penyesalan. Betapa rindu aku menjadi bagi mereka seorang tukang tanpa upah yang mencampur bahan bahan itu untuk dijadikan rumah bermimpi buat mereka. Hanya saja tidak mudah setiap ke-diam-an dapat dijadikan alasan untuk menjelaskan mengapa cinta dapat tumbuh dan bahkan bercambah di tanah yang terkadang merasa disandra kehilangan.
Diam-diam aku menikmati kesunyianmu yang merantau jauh ke negeri para kudus memantik doa demi dinyalakannya harapan bagi orang-orang, yang kata mereka; 'Hidup adalah sebuah ziarah dan sajadah yang susah payah.' Bagimu, ini kumbayah. Penantian yang tak pernah habis walau kau merasa tak selalu kuat menjadi perindu yang sakti.
Karena memang setiap orang akan bosan pada kebosanannya sendiri, aku pun merasa perlu menampakkan diri di bukit ini sebagai manusia biasa. Sepasang kekasih yang sama mendendangkan lagu dengan irama yang syahdu. Sangat syahdu sampai aku memilih menjadi penjaga taman paling angkuh untuk tidak menghiraukan siapa pun. Bagi mereka aku memangkas setiap airmata dengan tajam siluet senja yang padanya manusia memperoleh makna pun jawaban atas kematian. Beberapa kenangan yang lupa mereka sembunyikan telah kusemaikan di sekitar altar yang semakin hari semakin menjadi altar sungguhan. Aku teringat setiap iman yang dipersembahkan di atas altar akan mengubah segala yang biasa menjadi berkat tak terduga, sebagaimana Abram menjadi Abraham.
Jika kujumlahkan penantianmu, tentu kuharapkan sedikit penjelasanmu mengapa kau terlampau saleh dengan tatapanmu yang bijak. Lilin yang bernyala, intensi-intensi dalam sebuah misa, devosi dan doa-doa setiap malam mendatangiku seperti seorang janda menuntut dituntaskan perkaranya yang paling mudah dan murah.
Pelan-pelan kudirikan bagi sepasang kekasih di bukit itu rumah. Menjelang malam kuajak senja turun sebagai jingga yang pecah. 'Itu ada matahari terperangkap' Mereka berlari menemuiku dan memohon masuk sebentar ke dalam rumah setengah jadi. 'Belum selesai semua'. Mereka bilang tidak apa-apa. Aku memaksa diri menikmati rayuan sederhana mereka. Sebab telah tertulis dalam anggaran dasar hatiku bahwa kemendesakan yang mengatasnamakan cinta lebih melihat seberapa jauh berkah datang mendahului musibah. Entah di mana keyakinan yang melahirkan ketakutan bagi sepasang kekasih muda ini sementara mereka telah belajar menjadi bijak dengan jalan jalan perasaan yang menyusuri kaki langit dan datang membawa kabar 'tidak ada apapun yang menjadi titik akhir di ujung sana selain mata yang menipu'
Lalu kau datang kepadaku. Setiap kepercayaan yang paling kuno pun akan mengiyakan ini ; bukit sebagai penghubung antara yang tak dikenali dan yang dikenali. Mungkin bukit adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan untuk melihat bahwa kekosongan di bawahnya hanyalah jalan sementara dan keberadaan di atasnya ada sebagai jalan kekekalan.
Kau menemui sepasang kekasih yang menurutmu 'mereka sedang memerangkap cahaya' dan yang menurut mereka, 'mereka sedang diperangkap oleh cahaya.' Aku melelahkan detak keingintahuanku untuk mengurai setiap sunyi dan mengusap kening waktu di tempat ini bagimu dan bagi sepasang kekasih itu. Kalian terlibat pertengkaran kecil yang dipenuhi kata najis dan menajiskan. Ujung lidahmu memutuskan tali cahaya demi menyelamatkan mereka dan cinta merelakan perjalanan mereka ditebus airmata dan penghabisan.
Kalian datang:
Kau menemuiku dengan doa-doa yang aneh.
Mereka menemuiku dengan cinta yang saleh.
Karya Januario Gonzaga
12 Desember 2013 pukul 11:51
Bukit yang paling sering menyembunyikan anak-anak muda dari ketahuan orang tua. Sebab di setiap lereng terdapat taman indah yang menjulurkan lengannya dan sesekali menghangatkan kepala mereka yang berteduh. Sehingga untuk itulah menyembunyikan sesuatu selalu serupa melarikan diri kepada kekosongan yang mengasyikan. Dan sepasang anak muda yang itu hampir selalu kujumpai setiap kali aku pergi mencari tempat mana yang pantas untuk menumpuk bahan-bahan bangunan. Di tempat yang sama mereka selalu lebih dahulu menumpuk kenangan, airmata dan penyesalan. Betapa rindu aku menjadi bagi mereka seorang tukang tanpa upah yang mencampur bahan bahan itu untuk dijadikan rumah bermimpi buat mereka. Hanya saja tidak mudah setiap ke-diam-an dapat dijadikan alasan untuk menjelaskan mengapa cinta dapat tumbuh dan bahkan bercambah di tanah yang terkadang merasa disandra kehilangan.
Diam-diam aku menikmati kesunyianmu yang merantau jauh ke negeri para kudus memantik doa demi dinyalakannya harapan bagi orang-orang, yang kata mereka; 'Hidup adalah sebuah ziarah dan sajadah yang susah payah.' Bagimu, ini kumbayah. Penantian yang tak pernah habis walau kau merasa tak selalu kuat menjadi perindu yang sakti.
Karena memang setiap orang akan bosan pada kebosanannya sendiri, aku pun merasa perlu menampakkan diri di bukit ini sebagai manusia biasa. Sepasang kekasih yang sama mendendangkan lagu dengan irama yang syahdu. Sangat syahdu sampai aku memilih menjadi penjaga taman paling angkuh untuk tidak menghiraukan siapa pun. Bagi mereka aku memangkas setiap airmata dengan tajam siluet senja yang padanya manusia memperoleh makna pun jawaban atas kematian. Beberapa kenangan yang lupa mereka sembunyikan telah kusemaikan di sekitar altar yang semakin hari semakin menjadi altar sungguhan. Aku teringat setiap iman yang dipersembahkan di atas altar akan mengubah segala yang biasa menjadi berkat tak terduga, sebagaimana Abram menjadi Abraham.
Jika kujumlahkan penantianmu, tentu kuharapkan sedikit penjelasanmu mengapa kau terlampau saleh dengan tatapanmu yang bijak. Lilin yang bernyala, intensi-intensi dalam sebuah misa, devosi dan doa-doa setiap malam mendatangiku seperti seorang janda menuntut dituntaskan perkaranya yang paling mudah dan murah.
Pelan-pelan kudirikan bagi sepasang kekasih di bukit itu rumah. Menjelang malam kuajak senja turun sebagai jingga yang pecah. 'Itu ada matahari terperangkap' Mereka berlari menemuiku dan memohon masuk sebentar ke dalam rumah setengah jadi. 'Belum selesai semua'. Mereka bilang tidak apa-apa. Aku memaksa diri menikmati rayuan sederhana mereka. Sebab telah tertulis dalam anggaran dasar hatiku bahwa kemendesakan yang mengatasnamakan cinta lebih melihat seberapa jauh berkah datang mendahului musibah. Entah di mana keyakinan yang melahirkan ketakutan bagi sepasang kekasih muda ini sementara mereka telah belajar menjadi bijak dengan jalan jalan perasaan yang menyusuri kaki langit dan datang membawa kabar 'tidak ada apapun yang menjadi titik akhir di ujung sana selain mata yang menipu'
Lalu kau datang kepadaku. Setiap kepercayaan yang paling kuno pun akan mengiyakan ini ; bukit sebagai penghubung antara yang tak dikenali dan yang dikenali. Mungkin bukit adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan untuk melihat bahwa kekosongan di bawahnya hanyalah jalan sementara dan keberadaan di atasnya ada sebagai jalan kekekalan.
Kau menemui sepasang kekasih yang menurutmu 'mereka sedang memerangkap cahaya' dan yang menurut mereka, 'mereka sedang diperangkap oleh cahaya.' Aku melelahkan detak keingintahuanku untuk mengurai setiap sunyi dan mengusap kening waktu di tempat ini bagimu dan bagi sepasang kekasih itu. Kalian terlibat pertengkaran kecil yang dipenuhi kata najis dan menajiskan. Ujung lidahmu memutuskan tali cahaya demi menyelamatkan mereka dan cinta merelakan perjalanan mereka ditebus airmata dan penghabisan.
Kalian datang:
Kau menemuiku dengan doa-doa yang aneh.
Mereka menemuiku dengan cinta yang saleh.
Karya Januario Gonzaga
12 Desember 2013 pukul 11:51