Laki-laki itu memang sangat misterius. Dengan postur tubuhnya yang sangat sempurna, ia berjalan dengan langkah mantap, tanpa peduli di sekitarnya. Dan saat berjuta pasang mata memandangnya, ia hanya melirik sekilas dengan tatapannya yang memesona. Aku yang sambil memeluk novel City Of Bones-ku, mengandai- andai bahwa ia seperti Jace Wayland dengan sejuta pesona namun rapuh. Saat ia berjalan menuju ke arahku, aku segera berlari. Sepertinya yang ada di pikiranku saat itu adalah bahwa aku tidak pantas mengenalnya. Aku hanya di pemimpi dan kutu buku.
“Mengapa lari?” katanya di belakangku. Suaranya merdu dan menggoda.
Tubuhku mematung. Ya Tuhan! Ia memanggilku? Dengan perlahan aku berbalik. “Kau bicara denganku?” tanyaku dengan kepolosan yang sangat memalukan. Sangat bodoh.
“Tentu saja, memangnya dengan siapa lagi?” tanyanya sambil mengangkat bahu.
Aku ingin bersikap santai seperti itu, tapi tidak bisa. Aku malah semakin memeluk erat bukuku. “Kenapa kau ingin bicara denganku?”
“Karena kau berbeda dari yang lain.”
“Maksudmu aku ini aneh?”
Ia tertawa. “Tentu saja tidak. Kau tidak aneh. Tapi kau berbeda. Mengerti kan maksudku?”
Dengan perlahan aku menggeleng.
Ia tersenyum lalu mendekatiku. “Kau punya dunia sendiri yang menurutku tidak ada seorang pun bisa masuk ke sana. Aku ingin mengenal dunia itu.”
Aku menganga lebar. Belum ada orang yang seblak-blakan seperti dia dan segombal dia, pikirku. “Maaf, tapi aku tidak mengerti maksudmu. Kau hanya membuang-buang waktu.”
“Oh, aku sangat mengerti. Aku pernah membaca buku itu.” Katanya sambil melirik buku yang ada dalam pelukanku itu.
“Kau ingin meminjam bukuku?” tanyaku lagi.
“Aku sudah pernah mendengar seseorang bercerita tentang isi dari novel itu. Dan aku ingin mendengar seseorang itu membaca sekali lagi untukku.” Kataku dengan kata-kata misteriusnya.
Aku memalingkan muka. Jika aku lama-lama menatapnya, bisa-bisa aku kehabisan napas karena terlalu terpukau oleh tatapan matanya.
“Kau sama sekali belum berubah.” Gumamnya, pada akhirnya.
Aku mematung. Berubah? Maksudnya?
“Masih ingatkah bahwa kau berjanji akan menceritakan novel Romeo and Juliet yang baru saja kau beli dengan susah payah di toko buku dan rela kehilangan uangmu dua kali lipat? Masih ingatkah kau ketika kau berjanji akan menuliskan aku sebuah cerita tentang kita berdua?” tanyanya pedih, menatapku dengan penuh kehampaan.
Aku ingat ia. Dia adalah teman kecilku yang sangat menyebalkan namun selalu melindungiku. Dia Leo, cinta pertamaku.
Aku menunduk. “Aku masih sangat ingat.”kataku akhirnya. “Dan cerita itu sudah lama selesai dibuat, hanya saja cerita tersebut berakhir sedih.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena aku telah kehilangan harapanku untuk bertemu denganmu lagi. Aku mulai menyerah untuk bermimpi tentangmu. Aku menyerah untuk berdoa setiap malam, berharap kau akan muncul di depan rumahku seperti dulu ketika kau masih di sini. Aku mulai lelah untuk berkhayal tentangmu yang akan menjadi pangeran dan pahlawanku lagi. Aku mulai menyerah untuk mencintaimu. Karena sakit yang kurasakan setiap harinya takkan pernah bisa diobati oleh siapapun, terkecuali itu kau.”
Leo memegang wajahku dengan kedua tangannya, lalu mengelus elus pipiku yang mulai dibanjiri air mata. “Dan di sinilah aku, aku datang untukmu.”
“Jangan datang untukku. Karena aku takut kau akan pergi lagi dan di saat perasaan itu mulai muncul kembali, kau akan pergi dan aku terjatuh lagi seperti dulu.”
“Kali ini berbeda. Aku takkan pergi. Aku akan selamanya di sini untukmu. Aku bersumpah demi seluruh hidupku.”
Aku menunduk, menahan isak tangis yang sebenarnya sebentar lagi akan keluar. “Bagaimana aku bisa percaya lagi?” tanyaku pedih. Dan semuanya semakin tersayat-sayat. Luka yang dengan susah payah kujahit sendiri kini hanya dalam satu menit saja sudah terkoyak koyak lagi menjadi sebuah keping-kepingan. Ini sudah 10 tahun semenjak ia pergi.
“Akan kubuktikan.”
Tiba-tiba ia berlutut di hadapanku lalu memegang kedua tanganku. “Sarah, aku menyesal telah pergi darimu, dan aku minta maaf atas perbuatanku dulu. Aku ingin kau kembali padaku dan hidup bersamaku untuk selama-lamanya. Maukah kau menikah denganku?”
Aku terkesiap. Dan seketika itu juga aku berhenti menangis.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, Kau mau menikah denganku?” tanyanya penuh harap.
Entah mimpi apa yang kualami tadi malam, entah doa apa yang kuucap, saat ini kebahagiaan dan kesedihan berada dalam 2 titik puncak dalam waktu bersamaan. Saat orang-orang di sekitar mulai meneriaki kata “MAU” aku bingung dengan kesungguhan hatinya. Bertahun-tahun kulalui semuanya sendiri dengan harapan yang kian lama kian menipis, dan saat harapan itu terkabul, aku malah bimbang. Kemudian aku teringat kata-katanya saat kecil dulu. “Tak peduli seberapa lama dan jauhnya itu, aku sayang padamu dan aku berjanji akan kembali untukmu.”
Saat itulah aku tahu apa jawabannya. “Aku menyayangimu, teman kecil dan cinta pertamaku. Dan akan selamanya begitu. Dan…. Ya. Aku mau menikah denganmu.” Kataku dengan mantap. Aku tahu ia akan kembali dan ia akan kembali untukku. Ia kembali..
Lalu ia mencium kedua punggung tanganku secara bergantian. “Terima kasih Sarah. Aku mencintaimu.” Ia beranjak bangun lalu memelukku dengan erat.
Selama dalam pelukannya aku tidak mendengar riuhan suara tepuk tangan orang yang melihat kami. Ketika ia di sini, waktu serasa berhenti dan sepi. Hanya aku dan dia. Aku memeluknya semakin erat, sambil berkata “Akhirnya kau kembali, cinta pertama dan terakhirku.”
“Sudah kukatakan bahwa aku akan kembali. Kau harus percaya itu.”
“Ya,, aku percaya..”
Karya : LuhDe Diah Chandra Prastyani
“Mengapa lari?” katanya di belakangku. Suaranya merdu dan menggoda.
Tubuhku mematung. Ya Tuhan! Ia memanggilku? Dengan perlahan aku berbalik. “Kau bicara denganku?” tanyaku dengan kepolosan yang sangat memalukan. Sangat bodoh.
“Tentu saja, memangnya dengan siapa lagi?” tanyanya sambil mengangkat bahu.
Aku ingin bersikap santai seperti itu, tapi tidak bisa. Aku malah semakin memeluk erat bukuku. “Kenapa kau ingin bicara denganku?”
“Karena kau berbeda dari yang lain.”
“Maksudmu aku ini aneh?”
Ia tertawa. “Tentu saja tidak. Kau tidak aneh. Tapi kau berbeda. Mengerti kan maksudku?”
Dengan perlahan aku menggeleng.
Ia tersenyum lalu mendekatiku. “Kau punya dunia sendiri yang menurutku tidak ada seorang pun bisa masuk ke sana. Aku ingin mengenal dunia itu.”
Aku menganga lebar. Belum ada orang yang seblak-blakan seperti dia dan segombal dia, pikirku. “Maaf, tapi aku tidak mengerti maksudmu. Kau hanya membuang-buang waktu.”
“Oh, aku sangat mengerti. Aku pernah membaca buku itu.” Katanya sambil melirik buku yang ada dalam pelukanku itu.
“Kau ingin meminjam bukuku?” tanyaku lagi.
“Aku sudah pernah mendengar seseorang bercerita tentang isi dari novel itu. Dan aku ingin mendengar seseorang itu membaca sekali lagi untukku.” Kataku dengan kata-kata misteriusnya.
Aku memalingkan muka. Jika aku lama-lama menatapnya, bisa-bisa aku kehabisan napas karena terlalu terpukau oleh tatapan matanya.
“Kau sama sekali belum berubah.” Gumamnya, pada akhirnya.
Aku mematung. Berubah? Maksudnya?
“Masih ingatkah bahwa kau berjanji akan menceritakan novel Romeo and Juliet yang baru saja kau beli dengan susah payah di toko buku dan rela kehilangan uangmu dua kali lipat? Masih ingatkah kau ketika kau berjanji akan menuliskan aku sebuah cerita tentang kita berdua?” tanyanya pedih, menatapku dengan penuh kehampaan.
Aku ingat ia. Dia adalah teman kecilku yang sangat menyebalkan namun selalu melindungiku. Dia Leo, cinta pertamaku.
Aku menunduk. “Aku masih sangat ingat.”kataku akhirnya. “Dan cerita itu sudah lama selesai dibuat, hanya saja cerita tersebut berakhir sedih.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena aku telah kehilangan harapanku untuk bertemu denganmu lagi. Aku mulai menyerah untuk bermimpi tentangmu. Aku menyerah untuk berdoa setiap malam, berharap kau akan muncul di depan rumahku seperti dulu ketika kau masih di sini. Aku mulai lelah untuk berkhayal tentangmu yang akan menjadi pangeran dan pahlawanku lagi. Aku mulai menyerah untuk mencintaimu. Karena sakit yang kurasakan setiap harinya takkan pernah bisa diobati oleh siapapun, terkecuali itu kau.”
Leo memegang wajahku dengan kedua tangannya, lalu mengelus elus pipiku yang mulai dibanjiri air mata. “Dan di sinilah aku, aku datang untukmu.”
“Jangan datang untukku. Karena aku takut kau akan pergi lagi dan di saat perasaan itu mulai muncul kembali, kau akan pergi dan aku terjatuh lagi seperti dulu.”
“Kali ini berbeda. Aku takkan pergi. Aku akan selamanya di sini untukmu. Aku bersumpah demi seluruh hidupku.”
Aku menunduk, menahan isak tangis yang sebenarnya sebentar lagi akan keluar. “Bagaimana aku bisa percaya lagi?” tanyaku pedih. Dan semuanya semakin tersayat-sayat. Luka yang dengan susah payah kujahit sendiri kini hanya dalam satu menit saja sudah terkoyak koyak lagi menjadi sebuah keping-kepingan. Ini sudah 10 tahun semenjak ia pergi.
“Akan kubuktikan.”
Tiba-tiba ia berlutut di hadapanku lalu memegang kedua tanganku. “Sarah, aku menyesal telah pergi darimu, dan aku minta maaf atas perbuatanku dulu. Aku ingin kau kembali padaku dan hidup bersamaku untuk selama-lamanya. Maukah kau menikah denganku?”
Aku terkesiap. Dan seketika itu juga aku berhenti menangis.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, Kau mau menikah denganku?” tanyanya penuh harap.
Entah mimpi apa yang kualami tadi malam, entah doa apa yang kuucap, saat ini kebahagiaan dan kesedihan berada dalam 2 titik puncak dalam waktu bersamaan. Saat orang-orang di sekitar mulai meneriaki kata “MAU” aku bingung dengan kesungguhan hatinya. Bertahun-tahun kulalui semuanya sendiri dengan harapan yang kian lama kian menipis, dan saat harapan itu terkabul, aku malah bimbang. Kemudian aku teringat kata-katanya saat kecil dulu. “Tak peduli seberapa lama dan jauhnya itu, aku sayang padamu dan aku berjanji akan kembali untukmu.”
Saat itulah aku tahu apa jawabannya. “Aku menyayangimu, teman kecil dan cinta pertamaku. Dan akan selamanya begitu. Dan…. Ya. Aku mau menikah denganmu.” Kataku dengan mantap. Aku tahu ia akan kembali dan ia akan kembali untukku. Ia kembali..
Lalu ia mencium kedua punggung tanganku secara bergantian. “Terima kasih Sarah. Aku mencintaimu.” Ia beranjak bangun lalu memelukku dengan erat.
Selama dalam pelukannya aku tidak mendengar riuhan suara tepuk tangan orang yang melihat kami. Ketika ia di sini, waktu serasa berhenti dan sepi. Hanya aku dan dia. Aku memeluknya semakin erat, sambil berkata “Akhirnya kau kembali, cinta pertama dan terakhirku.”
“Sudah kukatakan bahwa aku akan kembali. Kau harus percaya itu.”
“Ya,, aku percaya..”
Karya : LuhDe Diah Chandra Prastyani
![]() |
sumber gambar, LuhDe Diah Chandra Prastyani |