(I)

Di dalam rahim yang tidak dapat binasa, setiap keyakinan kami pada ritual musim tanam adalah memperpanjang kehidupan. Apa yang mendorong kami untuk memelihara airmata bukanlah kehilangan yang kepadanya segala sujud mendapat alasan yang cukup. Kami akan lebih dahulu membunuh setiap prasangka yang datang pada mimpi dengan membawa tubuh anak anak kami, seperti aku, dalam wujud yang paling sengsara. Sebenarnya, tanpa lapar pun kami telah selesai mengungkap segala misteri di balik tanda tanda alam.

Kami tak lelah memupuk setiap kalimat yang diawali seakan, agar kelak melimpahkan syukur pada ketiadaan adalah kesia siaan yang jadi anggun. Barangkali di setiap musim hujan kami akan rindu menjadi budak yang telah diampuni atau sekadar seorang wanita malang yang sanggup menanggung derita dengan melepaskan seluruh kemuliaannya. Dengan ketakutan dan kekaguman kami berdiri di hadapan perselisihan musim dan kelembutan gerimis. Selalu ada harga yang mahal untuk memelintirnya menjadi keyakinan.

Menulis Sastra, esai
(II)

Bukankah dengan menjangkau kemalangan kami, setiap benih yang jatuh telah mencapai tujuan mencinta? Dengan setajam kenangan kami menanggalkan masa lalu seperti Odysseus yang terpisah dari Nausicaa meskipun kami tak melampaui cinta sebagai bekas paling tampak di setiap perjalanan. Seakan kemungkinan bagi kami telah nisbi di ujung waktu menunggu hasil menanam. Kesederhanaan telah menyusun ulang tulang tulang rusuk kami yang dipatahkan bagi kehidupan.

Sekali waktu kami menemani kehadiran penyelamat dengan menjadi tumpul pada jalur waktu mengukur bagaimana rasa gelisah seorang anak, seperti aku, menikam tubuh yang rapuh. Demi setiap amin di akhir doa tentu segala kebahagiaan akan berakhir pada alasan kami memerlukan hari ini. Untuk mempersembahkan diri kami sebagai penghabisan seperti benih tuntas dalam senyap.


Oleh Januario Gonzaga