Lima pasang sepatu tergetak pada tempatnya. Ada yang kumal ada juga yang bersih neces. Entah sudah berapa lama sepatu-sepatu itu berada di situ. Sepatu-sepatu itu sendiri tidak mengingatnya lagi. Mereka lupa akan semuanya. Otak mereka telah hancur akibat terus diinjak tanpa belas kasihan. Mereka adalah sepatu-sepatu untuk manusia yang sering dipakai dan dicampakan setelahnya.
Sepasang sepatu kulit berwarna coklat dengan moncongnya yang meruncing ke depan sedikit bergeser ke tengah. Keempat pasang sepatu yang lainnya mengambil posisi masing-masing. Mereka melingkar. Layaknya ada konferensi dalam meja yang bundar. Bukan bulat, karena bentuk mereka boleh dibilang oval. Seperti telur ayam. Sepatu kulit coklat tadi mulai berdehem. Semua diam. Hening seketika. Mendengarkan kisahnya.
Aku dulu adalah sepatu yang bagus. Merek yang sering dicari orang. Lelaki kaya. Lelaki perlente. Bahkan para aktivis kampuspun ikut-ikutan mencari aku. Aku sangat digandrungi, karena modelku yang bagi mereka sangat sempurna. Aku menjadi ikon bagi kaki setiap lelaki.
Bagi para manusia yang berjenis kelamin lelaki itu, mereka akan sangat percaya diri apabila telah menggunakan aku. Bahkan aku menjadi salah satu bagian dari bentuk rayuan mereka secara tersirat. Kalian tahukan. Manusia yang berjenis kelamin wanita itu. Mereka sekarang pandai mengamalkan cinta.
Cinta yang dipraktekan oleh para wanita itu adalah cinta ada apanya. Bukan cinta ada apanya. Mereka akan sulit jatuh cinta hanya karena ada getaran hati. Itu suatu kebohongan. Bahwa cinta berasal dari getaran hati. Chemistry. Cinta bagi mereka adalah ketika mereka melihat. Melihat setiap lelaki yang kira-kira memiliki cukup barang fana. Bila melihat lelaki yang memakai aku, mereka tentu akan berdebar jantungnya.
Aku masih ingat waktu itu. Aku masih di tempat aku dipajangkan. Hilir mudik lelaki datang mangamati aku.
Memegang. Melihat-lihat. Saling bertukar pikiran dengan teman lelaki atau teman perempuan, mungkin juga pacarnya. Anehnya mereka segera minggat dari tempat aku dan kumpulan teman sejenisku. Kalian tahu mengapa mereka meninggalkan aku? Aku sendiri juga tidak tahu.
Mungkin karena ah, itu karena setelah mereka melihat label harga yang tergantung di kepalaku. Aku tak mengerti kenapa mereka begitu kaget bahkan seperti ketakutan melihat setan, begitu melihat label harga itu.
Mungkin label harga itu kurang menarik. Tidak cocok dipasangkan pada sepatu yang begitu bagus macam aku. Atau?
Aku masih ingat ketika suatu sore. Seperti biasa di tempat aku dipajang di toko sepatu itu. Sepasang manusia datang. Seorang lelaki yang berumur kira-kira tiga puluhan tahun menghampiriku. Memegangku. Membolak-balikanku. Melihatku dari berbagai sudut. Aku jadi malu waktu itu karena dilihat terus begitu. Tapi, aku diam saja, karena itu memang nasibku.
Seorang wanita yang tadi datang dengannya, menghampiri lelaki itu. Mereka lalu bercakap-cakap dalam bahasa manusia. Si wanita yang mungkin juga istri dari lelaki itu berbicara dengan suara agak meninggi. Ekspresinya juga tidak seperti ketika ia baru masuk toko itu. Tak ada senyum lagi ketika mereka sedang berbicara. Lelaki juga ikut-ikutan meninggikan suaranya.
Aku cuma diam melihat tingkah mereka. Mereka masih saja berbicara. Kali ini suara mereka sedikit diperkecil, karena tadi ketika mereka berbicara dengan suara tinggi semua pengunjung toko tempat aku dipajangkan melihat ke arah mereka. Aku masih tidak mengerti, karena aku memang tidak mengerti bahasa manusia.
Si wanita tadi semakin lembut suaranya. Ia berbicara sambil tangannya bergelayut manja di lengan lelaki tadi. Samar-samar aku bisa menangkap suara wanita itu, tapi tidak aku mengerti maksudnya.
Sayang, biarlah sudah. Toh, lain kali kalau kita ada rezeki lebih pasti kita akan ke sini lagi untuk membeli sepatu ini. Lihat saja harganya. Dengan harga begini, cukup untuk membeli sekarung beras lima puluh kilogram. Ingat, uang sekolah anak kita semester ini belum dibayar. Ingat juga susu Si Kecil belum kita beli.
Setelah berkata bergitu, lelaki tadi mengangguk pelan. Aku tak tahu apa artinya. Mereka kemudian berjalan ke tempat lain di toko itu. Sedikit melihat sepatu-sepatu jenis lain. Lalu aku tak memperhatikan mereka lagi, karena tampak tiga lelaki datang ke arahku sambil berguyon riang.
Lelaki pertama yang berambut keriting mulai meraihku. Aku sedikit bergidik karena melihat tampangnya yang kaku tanpa senyum. Ia terlalu serius melihatku. Hal yang sama seperti pengunjung sebelumnya ia lakukan. Ia mulai mengamatiku dengan saksama.
Sedikit decak kagumnya. Sementara ia membolak-balikan badanku, seorang lelaki seumur dengannya menghampirinya. Merekalah yang mula-mula masuk bersamaan ke dalam toko itu. Mereka mulai saling bertukar pikiran. Melemparkan ide masing-masing, bahkan ada yang begitu idealis berusaha memotong pembicaraan dengan berkata interupsi sebelumnya.
Lelaki ketigapun ikut bersama mereka. Perdebatan mereka semakin alot. Berbagai argumentasi mereka keluarkan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Ada yang menggeleng ada pula yang mengangguk. Lelaki pertama tadi melepaskan aku di tempat semula. Sedang lelaki yang ketiga mengambil pasanganku.
Lelaki ketiga sedikit terkejut. Ia terhenyak ketika melihat label harga yang mengantung di kepalaku. Digelengkan kepalanya beberapa kali. Rupanya ia tidak mengerti denganku, sehingga ia begitu seringnya menggelengkan kepala. Mungkin juga ia tidak mengerti dengan kedua temannya yang masih berdebat. Aku kemudian menangkap suara mereka ketika lelaki ke tiga meletakkan aku di tempat semula.
Jangan bang. Itu uang merupakan hasil kerja keras kita bersama. Uang itu didapat dari pemerintah daerah provinsi kemarin. Itu uang pengajuan proposal kita untuk kegiatan Rapat Umum Anggota yang tidak lama lagi akan kita laksanakan. Kita sudah bersusah payah ke sana kemari mencari dana. Masa abang mau memakai uang ini utuk beli sepatu semahal ini.
Kita sendiri yang berdemonstrasi ketika pemerintah melakukan KKN, sedangkan kita boleh melakukan penyelewengan uang bersama. Apa ini bukan KKN, bang? Lelaki kedua bersuara dengan sedikit geram.
Lelaki pertama tadi buka suara. Ini bukan sesuatu yang dinamakan KKN adik. Ini hanya pemanfaatan kesempatan terhadap peluang yang ada. Toh, saya juga membutuhkan sepatu ini. Sepatu ini sangat cocok bagi para aktivis macam kita-kita ini. Sudah lama saya menrindukan sepatu ini untuk dipakai dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan organisasi.
Lelaki ketiga tadi melerai mereka. Memberikan pandangannya. Sungguh, ia berpendapat cukup lama. Mereka berdua cuma mendengarkannya. Kadang kala kepala dianggukan pertanda mengerti. Setelah selesai berbicara, mereka bertiga keluar dengan saling berpelukan.
Belum hilang benar ketiga lelaki tadi menghilang dari balik pintu toko, lelaki berusia kira-kira setengah abad datang. Ia mengulum senyum begitu melihatku. Diamatinya dengan saksama. Ia belum yakin benar, kemudian ia bertanya pada pelayan toko. Mereka berdua sedikit berbincang-bincang. Kemudian menuju ke tempat kasir.
Kasir dengan ramahnya menyapa dengan suara lembut, selembut kapas.
Menyambut lelaki tadi dengan senyum yang teramat ramah. Entah senyum dibuat-buat karena tuntutan profesi atau mungkin juga senyum khas dari dalam dirinya. Senyum tulus seperti dikatakan orang. Ia memberikan secarik kertas sebagai nota bukti pembayaran kepada lelaki tadi, sambil menunggu uang pembayaran atas harga sepatu yang telah diambil.
Lelaki tadi tersentak. Uangnya kurang pas. Belum pas untuk melunasiku berpindah tempat. Mengungsikan aku dari toko ini ke rumahnya. Mukanya merah padam menahan malu. Sementara kasir tadi yang sering tersenyum berangsur berubah. Kasir mulai marah-marah. Sangat kontras dengan suasana awal ketika lelaki tadi meletakan sepatu di meja kasir.
Kasir masih marah-marah. Sementara lelaki tadi dengan malu-malu dan sedikit kikuk keluar dari toko itu. Beberapa orang yang ada di dalam toko berusaha mendekat. Ingin mengetahui gerangan apa yang telah terjadi, sehingga kasir naik darah. Setelah mengetahui perihalnya, mereka kembali ke aktivitas masing-masing. Pelayan toko kembali meletakan aku di tempat semula.
Sehari kemudian seorang wanita muda datang. Mengahampiriku. Mengamati dengan saksama. Belum puas ia mengamatiku, ia melihat label harga yang masih menggantung di kepalaku. Ia lalu memanggil pelayan toko. Pelayan toko yang sama seperti kemarin. Setelah mereka berdiskusi, aku lalu diantarkan ke meja kasir.
Kasir yang tadinya tersenyum ramah, kemudian bungkam. Ia melihat aku sekali lagi. Lalu, diangkat wajahnya. Ditatapnya wanita yang ingin membeliku lekat-lekat. Wanita tadi tersenyum padanya. Kasir mengangguk lalu membalas senyum.
Aku kemudian dibungkus, sementara wanita tadi membayarkan sejumlah uang kepada kasir. Wanita tadi kemudian keluar dari toko dengan senyum puas. Tangan kirinya menjinjing tas yang di dalamnya ada aku. Ia menuju ke rumahnya.
Di kamar wanita itu, aku kemudian dikeluarkan. Disemprotkan dengan wewangian yang sangat harum. Membuat aku hendak bersin. Aku kemudian dibungkus rapi. Diletakan dalam satu kotak. Pernak-pernik dan hiasan menambah semarak dalam kotak. Lalu gelap menyelimutiku karena kotak itu ditutup dari atas. Aku sedikit menggigil ketakutan. Aku takut gelap.
Entah berapa lama aku tak tahu lagi. Aku tersadar ketika, mendengar nyanyian dan kemudian hiruk pikuk orang.
Kayaknya dalam sebuah ruangan. Ada dentuman irama musik yang keras. Teriakan orang yang saling menyapa. Salaman. Setelah beberapa saat suara tadi menghilang. Tinggal sepi yang menggoyangkan aku dalam kotak.
Begitu kagetnya aku ketika cahaya benderang masuk. Tutupan kotak itu dibuka lagi. Aku menengok ke atas. Kukucek-kucekan mataku agar beradaptasi dengan cahaya. Terang yang telah ada lagi. Tampak seorang pemuda. Dengan tersenyum puas ia mengambilku dari dalam kotak. Diambilnya lagi secarik kertas, lalu dibacanya dengan keras. SAYANG, PAKAILAH SEPATU INI DENGAN PENUH CINTA, SEBAGAIMANA KITA SALING MEMAKAIKAN HATI KITA UNTUK CINTA. HAPPY BIRTHDAY. Tawa ngakak, begitu lelaki itu selesai membaca carikan kertas tadi.
Hari-hari selanjutnya, aku sering dipakai oleh pemuda tadi. Kemana saja. Aku tampak letih juga karena setiap kali tubuh yang kecil ini harus menahan beban yang berat. Kadang aku bertemu dengan teman-teman yang lain. Aku mengenal mereka karena dulu kami berasal dari toko yang sama. Mereka kelihatan kumal dan lusuh. Kadang juga tubuhku harus bersentuhan langsung dengan berbagai macam kotoran yang baunya minta ampun.
"Harga kamu berapa?" potong kets sebelum aku selesai bercerita.
"Lima ratus dua puluh dua ribu lima ratus rupiah"
"Kasihan sekali. Dengan harga semahal itu kamu harus bersentuhan langsung dengan
kotoran yang sangat jijik dan bau" kets ketawa mengejek.
"Heii.. kita sama-sama bangsa sepatu kawan. Itu resiko dan nasib kita bila suatu saat bersentuhan dengan kotoran" sepatu keranjang ikut bersuara.
"Sudah.sudah!!!"
"Mengapa sekarang anda bisa berada di sini??" lanjut highheels dengan tanya. Nampak sekali tali sebelah kirinya yang telah putus.
Kalian tahu. Setelah itu wanita dan pemuda tadi jarang bertemu. Kalau mereka bertemu mereka saling bertengkar. Mempermasalahkan hal-hal yang aku sendiri tidak mengerti. Klimaksnya pada suatu hari, mereka berdua sangat marah. Saling melontarkan suara dengan nada tinggi lalu mereka berpisah dengan duka. Hati penuh amarah.
Mungkin karena diminta kembali oleh wanita tadi, aku kemudian dipulangkan kembali ke rumah wanita. Karena aku khusus dipakai oleh lelaki maka aku tidak digunakan sampai sekarang. Aku dicampakan. Dicampakan bukan karena sudah rusak atau putus. Aku dicampakan karena aku tidak layak dipakai oleh wanita yang sekarang menjadi tuanku. Karena aku sepatu.
Aku lelaki. Aku sepatu lelaki. Sampailah aku di sini bersama kalian. Kita kumpulan yang terbuang. Sama-sama terbuang karena tidak dipakai lagi. Aku tidak dipakai karena tidak tepat sasarannya, sedangkan kalian tidak dipakai karena sudah rusak atau putus. Sekarang kita menunggu waktu untuk segera ke kobaran api. Tumpukan sampah yang dibakar bersama kita. Layaknya kobaran api neraka bagi jiwa manusia yang berdosa.
Naikolan, April 2012
Sumber : Pos Kupang
COMMENTS