Lingkaran Rindu di Ujung Senja -->

Header Menu

Lingkaran Rindu di Ujung Senja

Bang Ancis
Saturday, January 18, 2014

Aku menulis ini, bukan dalam serpihan terakhir permainan kata-kataku. Ini adalah sengketa dalam sajakku, yang memelukku dan mengajakku untuk kembali pada suatu masa yang berlalu, telah terlewatkan berdetik-detik lamanya.

Lalu aku bisu, tertuju kepada rindu. Cerita berdimensi waktu!

Hari ini, dalam sejuknya kalbuku, aku memerintahkan kaki ini menuju pelupuk matahari yang sebentar lagi berlabuh bersama “dia”. Senja khatulistiwa, senja termanis sejarah peradaban hidupku yang telah membawaku dalam lingkaran rindu terluhur hingga kini, hingga aku terlelap dalam khayalan bersamamu dalam mimpi.

Kini, terowongan sengit tempatku berpijak menuju ambang senja. Mungkin sangat melelahkan bagi sebagian orang namun sangat menceriakan bagiku sebab telah pupus terbunuh letih dan dogma mencintai bergulir semanja angin serta retorika mulai tebar menebar dalam buih-buih bening kelopak berisitilah air mata. Air mata termasyhur sedunia. Sebab ini cinta, mencintai dengan sederhana dalam segala cerita, dengan sentuhan tanpa niat menyakiti.

Lingkaran Rindu di Ujung Senja

Hari ini dalam angkuhnya semesta membawa aku dan kamu. Kita. Saling melewatkan mentari.  Tak terpaku, juga tak berbagi. Terikat dalam kesamaan juga keterpaduan. Mencintai akhir dari matahari.

Kita sama kekasih, sepotong kenangan yang berjumpa lupa lalu saling merindukan. Kita tersiksa oleh kenangan, jika menyakiti semoga mungkin dalam rasa yang meresahkan ini, kita bisa saling merangkul, memuja dan memuliakan rasa tertinggi. Cinta.

Berdetik-detik lalu bukanlah hal yang lama, termasuk ketika kau bersembunyi dalam waktu. Taukah kau? kau melupakan bahwa aku adalah selimut itu. Di bawah rerimbunan pohon bambu, dalam selang-selang bernapasnya aku. Aku bersajak sendiri. Sambil menunggu ambang senja yang sebentar lagi datang menyapa kita berdua.

Ini sungguh diam sebab kau telah meninggalkanku dalam bekas berjarak. Terkadang menyiksa namun mengisyaratkan detak terkahir dalam luasnya semesta. Menawarkan aku siksa rindu tanpa batas dengan kamu si pemilik sajak terlukis rindu.

Hai penguasa hatiku, pemilik rinduku. Bisakah kita reuni senja dalam lingkaran pelukan? Bisakah kita saling menemukan dalam gelap, sedang kita menatap hanya hitam dan pekat? Bisakah! Bicaralah. Jangan biarkan jarak menjadikan kita bisu dan memendam rindu.

Ah, telah kau padamkan aku. Ternyata kau bisu, tak mampu menuntun aku yang buta akan perjalanan kisah senja terakhir telaga khatulistiwa kita. Karena disana kita pernah bersabda tentang rindu tanpa jeda, tentang kisah yang belum punah.

Dan terakhir...

Semampuku aku menggores kertas putih ini, menulis sisi puitis dari romantika rindu. Aku luka kekasih. Kau dahulu yang menjadi primadona dalam puisiku meninggalkan jejak berbekas air mata. Taukah kau? Jika aku melingkar dalam gulungan sepi yang menusukku tajam.

Aku terluka kekasih, peluk aku kini dalam sajakku juga dalam dinginnya hujan yang meredakan piluku. Aku rindu.

Jenguk aku kekasih bila sakitku itu adalah rindu.

 Oleh Obi Samhudi, Lingkaran Rindu di Ujung Senja